ASI menunjang perkembangan optimal bayi. |
KOMPAS.com — Seorang ibu yang positif mengidap HIV dan
mengonsumsi obat antiretroviral dapat menyusui secara eksklusif enam
bulan pada bayinya tanpa menularkan virus HIV-nya kepada sang bayi. Ini
hasil penelitian National Agency for the Control of AIDS (NACA) Nigeria
di Botswana, Nigeria. Demikian siaran pers yang dikeluarkan Asosiasi Ibu
Menyusui Indonesia di Jakarta, Kamis (10/12/2009), yang ditandatangani
Mia Susanto, Ketua Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI).
Dalam siaran pers tersebut disebutkan, hasil penelitian NACA Nigeria tersebut dirilis oleh Profesor John Idoko, Direktur NACA Nigeria, pada 26 November lalu. Tema tulisan ilmiahnya adalah "Universal Access and Human Rights, Closing the Wide Gap in Preventing Mother To Child Transmission (PMTCT)".
Mia Susanto menyambut positif penelitian NACA Nigeria tersebut. Sebelum ada pengumuman dari hasil penelitian ini, pihak internasional masih ragu untuk menyarankan ibu yang positif HIV untuk menyusui bayi mereka. "Dengan adanya hasil penelitian ini, ketakutan bahwa bayi yang lahir dari ibu positif HIV akan tertular melalui air susu ibunya menjadi terminimalisasi. Selama ibu positif HIV tersebut mengonsumsi obat antiretroviral," jelasnya.
Lebih lanjut, dia mengatakan, sedari awal AIMI selalu menyarankan agar ibu dapat menyusui secara eksklusif bayinya, walaupun dalam keadaan sakit. Pertimbangannya, selain bayi dapat segala kebaikan dari air susu ibu (ASI), sang bayi juga mendapat antibodi dari ibu terhadap penyakit tersebut.
Bayi baru lahir sangat rentan terkena infeksi ataupun berbagai penyakit yang berjangkit di lingkungan sekitarnya. Cara terbaik untuk melindungi bayi tersebut dari infeksi dan berbagai penyakit adalah dengan memberi ASI.
"Mengapa demikian? Karena ASI adalah asupan nutrisi yang paling higienis, yang memiliki gizi paling lengkap, dan terutama memiliki kandungan antibodi yang dihasilkan oleh tubuh ibunya. Antibodi inilah yang tidak dimiliki susu pengganti mana pun, yang bisa melindungi bayi dari infeksi sekitarnya," kata Mia.
Mia menegaskaan, pemberian ASI tidak bisa dibandingkan atau digantikan dengan pemberian susu formula. Sebab, susu formula bukanlah produk steril. "Belum lagi untuk proses penyajiannya yang memerlukan tempat dan air, yang belum tentu disterilkan terlebih dahulu. Maka, pemberian susu formula akan meningkatkan bahaya berbagai penyakit infeksi dan mal-nutrisi," katanya.
Adanya rekomendasi dari NACA Nigeria tersebut, tekan Mia, semakin menguatkan gerakan AIMI dalam mendorong pemerintah dan pihak swasta untuk memberikan dukungan terhadap ibu menyusui.
Dalam siaran pers AIMI ini, diungkap pula mengenai laju pertumbuhan penderita HIV/AIDS, yakni Indonesia termasuk negara dengan laju pertumbuhan penderita kasus HIV/AIDS yang tercepat di Asia. Dalam setahun diperkirakan terjadi satu juta kasus baru HIV di Indonesia. Tragisnya 92 persen di antaranya adalah usia produktif, termasuk anak dan remaja.
Mengutip laporan yang dikeluarkan Departemen Kesehatan RI, hingga September 2009, dilaporkan sudah 464 anak Indonesia berusia di bawah 15 tahun positif terinfeksi HIV/AIDS. Sebagian besar terinfeksi karena lahir dari ibu yang positif HIV.
Jumlahnya itu kemungkinan lebih besar lagi karena semua kasus belum tentu dilaporkan. Sebagaimana di negara-negara lain, di Indonesia pun masalah HIV/AIDS adalah fenomena gunung es.
Bayi atau anak penderita HIV/AIDS diperkirakan kian meningkat pesat. Bertambahnya prevalensi ini diduga mudahnya jalur penularan, yakni pada saat selama kehamilan, persalinan, atau selama menyusui. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang tidak mendapat terapi ARV berisiko 15-45 persen anaknya tertular HIV/AIDS.
Berdasarkan berbagai fakta-fakta tersebut, tegas Mia Sutanto, AIMI mendorong pemerintah dan swasta, terutama yang bergerak di bidang kesehatan, untuk memberikan dukungan kepada ibu penderita HIV untuk tetap menyusui bayinya.
Dalam siaran pers tersebut disebutkan, hasil penelitian NACA Nigeria tersebut dirilis oleh Profesor John Idoko, Direktur NACA Nigeria, pada 26 November lalu. Tema tulisan ilmiahnya adalah "Universal Access and Human Rights, Closing the Wide Gap in Preventing Mother To Child Transmission (PMTCT)".
Mia Susanto menyambut positif penelitian NACA Nigeria tersebut. Sebelum ada pengumuman dari hasil penelitian ini, pihak internasional masih ragu untuk menyarankan ibu yang positif HIV untuk menyusui bayi mereka. "Dengan adanya hasil penelitian ini, ketakutan bahwa bayi yang lahir dari ibu positif HIV akan tertular melalui air susu ibunya menjadi terminimalisasi. Selama ibu positif HIV tersebut mengonsumsi obat antiretroviral," jelasnya.
Lebih lanjut, dia mengatakan, sedari awal AIMI selalu menyarankan agar ibu dapat menyusui secara eksklusif bayinya, walaupun dalam keadaan sakit. Pertimbangannya, selain bayi dapat segala kebaikan dari air susu ibu (ASI), sang bayi juga mendapat antibodi dari ibu terhadap penyakit tersebut.
Bayi baru lahir sangat rentan terkena infeksi ataupun berbagai penyakit yang berjangkit di lingkungan sekitarnya. Cara terbaik untuk melindungi bayi tersebut dari infeksi dan berbagai penyakit adalah dengan memberi ASI.
"Mengapa demikian? Karena ASI adalah asupan nutrisi yang paling higienis, yang memiliki gizi paling lengkap, dan terutama memiliki kandungan antibodi yang dihasilkan oleh tubuh ibunya. Antibodi inilah yang tidak dimiliki susu pengganti mana pun, yang bisa melindungi bayi dari infeksi sekitarnya," kata Mia.
Mia menegaskaan, pemberian ASI tidak bisa dibandingkan atau digantikan dengan pemberian susu formula. Sebab, susu formula bukanlah produk steril. "Belum lagi untuk proses penyajiannya yang memerlukan tempat dan air, yang belum tentu disterilkan terlebih dahulu. Maka, pemberian susu formula akan meningkatkan bahaya berbagai penyakit infeksi dan mal-nutrisi," katanya.
Adanya rekomendasi dari NACA Nigeria tersebut, tekan Mia, semakin menguatkan gerakan AIMI dalam mendorong pemerintah dan pihak swasta untuk memberikan dukungan terhadap ibu menyusui.
Dalam siaran pers AIMI ini, diungkap pula mengenai laju pertumbuhan penderita HIV/AIDS, yakni Indonesia termasuk negara dengan laju pertumbuhan penderita kasus HIV/AIDS yang tercepat di Asia. Dalam setahun diperkirakan terjadi satu juta kasus baru HIV di Indonesia. Tragisnya 92 persen di antaranya adalah usia produktif, termasuk anak dan remaja.
Mengutip laporan yang dikeluarkan Departemen Kesehatan RI, hingga September 2009, dilaporkan sudah 464 anak Indonesia berusia di bawah 15 tahun positif terinfeksi HIV/AIDS. Sebagian besar terinfeksi karena lahir dari ibu yang positif HIV.
Jumlahnya itu kemungkinan lebih besar lagi karena semua kasus belum tentu dilaporkan. Sebagaimana di negara-negara lain, di Indonesia pun masalah HIV/AIDS adalah fenomena gunung es.
Bayi atau anak penderita HIV/AIDS diperkirakan kian meningkat pesat. Bertambahnya prevalensi ini diduga mudahnya jalur penularan, yakni pada saat selama kehamilan, persalinan, atau selama menyusui. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang tidak mendapat terapi ARV berisiko 15-45 persen anaknya tertular HIV/AIDS.
Berdasarkan berbagai fakta-fakta tersebut, tegas Mia Sutanto, AIMI mendorong pemerintah dan swasta, terutama yang bergerak di bidang kesehatan, untuk memberikan dukungan kepada ibu penderita HIV untuk tetap menyusui bayinya.