JAKARTA - Semua pihak harus sepakat untuk
menghentikan politik biaya tinggi dalam pemilihan kepala daerah
(Pilkada). Biaya selama ini berkisar antara ratusan miliar sampai
triliunan rupiah. Akhirnya, daerah yang semula sebagai lumbung padi,
lalu berubah menjadi lumbung korupsi.
“Harus sepakat bersama untuk mengakhiri politik biaya tinggi. Sebab
politik biaya tinggi itu banyak berimplikasi negatif dengan makin
maraknya korupsi. Tapi, tetap dipilih langsung oleh rakyat, jangan
sampai ditarik mundur kembali oleh DPRD,” ujar Wakil Ketua MPR RI Hadjriyanto Y Thohari dalam dialog Biaya Pemilukada bersama Ketua Panja RUU Pemilukada DPR Hakam Naja dan Firmanzah dari Universitas Indonesia di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, Senin (8/4/2013).
Panja DPR RI terus menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan
Kepala Daerah (Pilkada), khususnya terkait efisiensi biaya pemilu,
mengingat selama ini mahal, dan berimplikasi pada maraknya korupsi yang
dilakukan kepala daerah dan pejabat Negara dari pusat sampai daerah.
Sejalan dengan biaya politik yang efisien tersebut menurut politisi
Golkar ini, sebagai langkah untuk menghentikan politik plutokrasi, yaitu
hanya calon atau tokoh-tokoh yang memiliki uang saja yang terpilih dan
dihormati rakyat. Sehingga yang dijadikan syarat dan kriteria pertama
dalam pemilu, hanya kekuatan logistik.
“Wacana, visi dan misi politik akhirnya tak berkembang di masyarakat,
karena hanya mengandalkan kekuatan logistik dan pragmatis,” tambahnya.
Khusus untuk RUU Pilkada, kata Hakam, yang sudah disepakati antara
lain mengenai anggarannya dialokasikan melalui APBD dengan berbagai
pembatasan terkait standar dana kampanye, biaya iklan, dan transparansi
keuangan partai, plus dana keamanan.
“Itu penting, karena biaya keamanan untuk Jawa Barat saja mencapai Rp
200 miliar. Juga Pilkada akan dilangsungkan serentak di mana tahap
pertama dalam pemilihan gubernur, disusul 279 Kab/Kota pada 2015, dan
244 Kab/Kota pada tahun 2018,” tutur politisi PAN ini.
Sedangkan Firmanzah
mengatakan, jika ekonomi politik keuangannya lebih sulit diidentifikasi
dibanding ekonomi pemilu. Sebab, kalau anggaran pemilu sudah jelas,
sedangkan anggaran atau biaya politik yang dilakukan oleh partai politik
cukup sulit.
“Jadi, kalau mau mengikis politik uang dan korupsi adalah melalui
transparansi partai dalam penerimaan, biaya, dan pengeluaran. Karenanya,
keuangan Negara (APBN) oleh BPK, penggunaan APBD oleh BPKD, parpol, dan
politisi sendiri harus dilaporkan,” katanya.
0 komentar:
Posting Komentar